Makalah Kebebasan, Tanggungjawab, Dan Hati Nurani (ilmu tasawuf)



BAB I 

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam ajaran Islam, akhlak memiliki karakter yang khusus. Islam bukanlah agama takhayul yang mengajarkan penganutnya untuk mengisolasi diri dari masyarakat umum. Akhlak dalam ajaran islam menyangkut seluruh isi kehidupan muslim.

Setiap manusia terlahir ke muka bumi dengan kebebasanya, namun ia hanya boleh mneggunakan kebebasanya itu sepanjang tidak melanggar norma-norma dan peraturan dalam ajaran agama. Juga harus menunjang akhlak mulia dalam menggunakan kebebasanya itu perlu diketahui bahwa dasar keimanan adalah akhlak mulia [[1]]. Manusia memiliki hak dan kewajiban juga hati nurani. Manusia seharusnya bertindak sesuai hati nurani dan tentunya ia harus melaksanakan tanggung jawabnya. Hal itu juga termasuk kedalam kategori ilmu Akhlak.

Dalam makalah ini kami akan mencoba sedikit mengulas menganai hubungan antara kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani.

 baca juga : MAKALAH CARA BERBICARA EFEKTIF

B Rumusan Masalah

Dari beberapa pemikiran uraian yang telah kelompok paparkan pada latar belakang, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Apa itu kebebasan?

2.      Apa itu tanggung jawab?

3.      Apa itu hati nurani?

4.      Bagaimana hubungan kebesan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak.

 

1


BAB II
 

PEMBAHASAN

 

 

A.    KEBEBASAN

Kebebasan adalah tidak dalam keadaan diam, tetapi dapat melakukan apa saja yang diinginkan selama masih dalam norma-norma atau peraturan-peraturan yang telah ada dalm kehidupan sehari-hari.

Dalam arti luas kebebasan dapat di artikan sebagai suatu kegiatan yang menyangkut semua urusan mulai dari sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya sesuai keinginan, baik individu maupun kelompok namun tidak bertentangan dengan norma-norma dan aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Islam mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab yang memperhatikan norma-norma yang berlaku. Dengan kata lain, setiap orang memiliki kebebasan, ia bebas melakukan apa saja selagi ia mempertanggung jawabkan dan tidak melanggar norma-noram yang ada.

Seseorang di sebut bebas apabila :

1.  Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.

2.  Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.

3.  Tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.[[2]]

Selain itu kebebasan meliputi segala macam perbuatan manusia, yaitu kegiatan yang di sadari, disengaja dan dilakukun demi suatu tujuan yang selanjutnya di sebut tindakan.

Dilihat dari segi sifatnya kebebasan dapat di bagi tiga yaitu :

2

1.  Kebebesan jasmani yaitu kebebasan untuk mrnggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki.

3

2.  Kebebesan rohaniah (kehendak) yaitu kebebasan menghendaki sesuatu Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir,karena manusia dapat memikirkan apa saja.

3.  Kebebasan moral yaitu kebebasan seseorang dalam melakukan sesuatu hubungan perseoarangan, dan melakukan suatu kegiatan sesuai hati nuraninya. [[3]]

 

Dalam arti luas berarti tidak adanya macam – macam ancaman, tekanan, larangan dan  tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.

Dalam Al-Qur’an surat Fushilat ayat 40 Allah berfirman:

اعْÙ…َÙ„ُوا Ù…َا Ø´ِئْتُÙ…ْ Ø¥ِÙ†َّÙ‡ُ بِÙ…َا تَعْÙ…َÙ„ُونَ بَصِيرٌ (٤٠)

Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu–satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan duniannya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.[[4]]

 

B.  TANGGUNG JAWAB

Istilah dalam islam, Tanggung jawab merupaka amanah. Secara luas tanggung jawab diartikan sebagai usaha manusia untuk melakukan amanah secara cermat, teliti, memikirkan akibat baik buruknya, untung ruginya dan segala hal yang berhubungan denagn perbuatan tersebut secara transparan menyebabkan orang percaya dan yakin, sehingga perbuatan tersebut mendapat imbalan baik maupun pujian dari orang lain.[[5]]

4

Menurut K. Bertens, tanggung jawab terkait dengan kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab. Bila tidak ada kebebasan, maka tidak ada pula tanggung jawab”. Konsekuensi dari kebebasan merupakan pertanggungjawabannya terhadap kebebasan dari pilihan yang ditempuhnya. Semakin tinggi tingkat kedudukan seseorang, semakin banyak tanggung jawab yang ada padanya.[[6]]

Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti:

1.  Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri.

2.  Kemampuan untuk bertanggung jawab.

3.  Kedewasaan manusia.

4.  Keseluruhan kondisi yang memungkinkan melakukan tujuan hidupnya.

Tingkah laku yang memungkinkan manusia melakukantujuan hidupnya.[[7]]

Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Tanggung jawab mempunyai dua sifat, pertama, bersifat langsung dan yang kedua bersifat tidak langsung. Dikatakan bersifat langsung bila sipelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Sedangkan tidak langsung, bila dilakukan oleh suruhan atau perantara lainnya. Pertanggung jawaban lansung misalnya setiap manusia yang berada dimuka bumi diminta pertanggungjawabannya, sebagai konsekuensi logis dari perbuatan yang telah dilakukan.[[8]]

Tanggung jawab dapat terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, diantaranya:

1.  Tanggung Jawab Agama.

Manusia diberi kebebasan bagi dirinya untuk berbuat dan bertidak. Yaitu pilihan untuk perbuatan tersebut ada yang baik dan buruk. Allah berfirman:

5

ÙˆَÙ‡َدَÙŠْÙ†َاهُ النَّجْدَÙŠْÙ†ِ (١٠)

“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan ( kebaikan dan keburukan)” (QS. Al- Balad: 10).

Manusia lahir dengan dibekali oleh Allah SWT berbagai potensi yang dimilikinya, potensi tersebut diberikan Allah agar manusia mampu menjadi khalifah (wakil) Allah dimuka bumi. Potensi tersebut diberikan sebagai alat untuk mengurus alam dan seisinya dan agar manusia senantiasa menyembah Allah. Potensi tersebut, tidak diberikan dengan gratis dan tanpa pengawasan, melainkan agar dimintai pertanggungjawabannya. Tentang bentuk pertanggungjawabannya perbuatan manusia  tersebut, tercantum pada firman Allah:

Ø«ُÙ…َّ Ù„َتُسْØ£َÙ„ُÙ†َّ ÙŠَÙˆْÙ…َئِØ°ٍ عَÙ†ِ النَّعِيمِ (Ù¨)

Artinya: “ Kemudian akan ditanya pada hari itu (kiamat) akan nikmat-nikmat (yang telah dianugerahkan kepadanya).”(QS. At- Takatsur: 8)

 

2.  Tanggung Jawab Sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ad suatu aturan yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya. Peraturan tersebut merupakan wujud tanggung jawab perseorangan terhadap lingkungan sosialnya yang bertujuan untuk ketertiban dan kemamukmaran serta menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut.

3.  Tanggung Jawab Akhlak (sosial)

Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian dari fitrah manusia. Oleh karena itu, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas manusia.

4. Tanggung Jawab Hati Nurani

Hati nurani diartikan sebagai kekuatan yang memperingatkan manusia dan mencegahnya unutk berbuat buruk. Tanggung jawab terhadap hati nurani berbentuk keinginan untuk selalu mengikuti kehendak hati untuk melakukan kebaikan. Bila tindakan seseorang berlawanan dengan hati nuraninya maka sudah pasti hidupnya dalam kegelisahan.

6

 


5.  Tanggung Jawab Amal Perbuatan

Setiap perbuatan manusia betapapun kecilnya pasti ada pertanggung jawabannya. Baik secara langsung ataupun tidak langsung.

 

Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang dapat menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.

 

C.   HATI NURANI

Hati nurani merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani biasanya cenderung paha hal yang positif bukan pada yang negatif. Atas dasar ini munculah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang tidak sejalan dengan kata hati.[[9]] Hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangn dalam melaksanakan kebebasan dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nurani berarti “terang, cahaya”. Sedangkan hati nurani adalah perasaan hati murni yang sedalam-dalamnya.

7

 Sementara itu, K.Bertens mengatkan bahwa hati nurani adalah “ penghayatan tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret manusia, yang memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu. 

Hati nurani berdasarkan latar belakang kejadian dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu:

1.  Hati nurani retrospektif, yaitu memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan atau yang sudah berlangsung di waktu lampau.

2.  Hati nurani prospektif, yaitu melihat dan menilai perbuatan yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang.

 

Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai tiga tingkatan:

a)  Perasaan melakukan kewajiban karena takut pada manusia.

b)  Perasaan mengharuskan mengikutinya apa yang harus diperintahkan.

c)  Rasa seharusnya mengikuti apa yang dipandang benar oleh dirinya.[[10]]

Hukum akhlak menerangkan bahwa “ segala perbuatan itu diberi hukum baik atau buruk, karena melihat kepada maksud yang melakukannya dan bukan melihat kepada buahnya. Barang siapa selalu mengikuti hati nurani adalah baik walaupun nanti kelihatan salahnya ( meskipun perbuatannya merugikan).

 

D.   HUBUNGAN ANTARA KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI DENGAN AKHLAK.

 

Suatu perbuatan baru dikatakan perbuatan yang alkhaki apabila perbuatan tersebut dilakukan atas keasadaran sendiri dengan tulus ikhlas, bukan paksaan ataupun di buat-buat. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbutan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Inilah hubungan antara akhlak dengan kebebasan.

Selanjutnya, perbuatan akhlak dilakukan atas kesadaran sendiri tanpa adanya paksaan. Perbuatan yang demikian dapat dimintai pertanggungjawaban dari orang yang melakukannya. Di sini letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.

8

Perbuatan akhlaki haruslah muncul dari dalam lubuk hati sehingga keikhlasan hatilah yang melakukannya sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari. Maka hubungan akhlak dan kata hati/ hati nurani muncul.

Dengan demikian masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani merupakan faktor penting dalam menentukan suatu perbuatan dikatakan akhlaki.

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulan bahwa:

1.    Kebebasan merupakan hak seseorang untuk berekspresi dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya tanpa ada tekanan dari pihak lain namun tetap pada batas-batas tertentu. Kebebasan menurut sifatnya dibedakan menjadi 3: kebebasan jasmaniah, kebebasan kehendak dan kebebasan moral.

2.    Tanggung jawab adalah sikap dimana seseorang dapat dimintai penjelasan mengenai apa yang telah diperbuat, tidak hanya menjawab tapi juga tidak mengelak.

3.    Hati nurani merupakan perasaan/ suara hati manusia yang menjadi dasar pertimbangan mereka dalam melakukan suatu tindakan, dimana perbuatan tersebut cenderung kepada kebaikan. Namun tidak selamanya hati nurani berkata benar, meskipun begitu manusia cenderung untuk tetap menaati apa yang menjadi keyakinannya dalam hati mereka.

4.    Hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak sangatlah jelas dan terikat. Kebebasan muncul karena adanya keinginan dari hati nurani untuk melakukan sesuatu, perbuatan yang sesuai hati nurani dan cenderung pada kebaikan disebut sebagai perbuatan akhlaki. Perbuatan sekecil apapun akan memiliki konsekuensi yang kemudian mengharuskan pelaku bertanggung jawab atas apa yang diperbuat, entah itu  merugikan atau menguntungkan. Maka dari itu K. Bertens menyatakan bahwa tidak akan ada tanggung jawab tanpa adanya kebebasan yang bersumber dari hati nurani.

 

B.  Kritik dan Saran

Demikianlah makalah yang kami buat. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu  kritik dan saran senantiasa kami tunggu guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermafaat bagi kita semua, Amin ya Rabbal’alamin.

9


 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Unri, Ar-Royan, Buku Panduan Asistensi Agama Islam, Pekan Baru: Pustaka Utama, 2003.

Nata, Abuddin, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Abdullah, M.Yatimin, Study Akhlak Dalam Prespektif Alqur’an, Editor M.Dzikrullah Jakatra: Amzah 2007.

AR, Zahruddin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Mustofa, A.Ahmad, Akhak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

10



[1] UKM Islam Ar-Royan Unri, Buku Panduan Asistensi Agama Islam, Pekan Baru: Pustaka Utama, 2003, Hlm.30

[2] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm.131

 

[3] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm.135

[4] UKM Islam Ar-Royan Unri, Buku Panduan Asistensi Agama Islam, Pekan Baru: Pustaka Utama, 2003, Hlm.37

[5] M.Yatimin Abdullah, Study Akhlak Dalam Prespektif Alqur’an, Jakatra: Amzah, Hlm.104

[6] Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.131

[7] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm.134

[8] Opcit, Hlm.132

[9] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm.134

[10] A.Ahmad Mustofa, Akhak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Hlm 121


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Jenis Layanan Bimbingan Konseling (BK)

Makalah Al-wala' wal bara'